Dari banyaknya pulau yang tersebar di Nusantara, Bali merupakan pulau yang paling terkenal, bahkan lebih dikenal dibanding Indonesia sendiri. Pertanyaan “Indonesia di sebelah mana Bali?” walaupun terkesan sebagai ‘lawakan’, tapi begitulah kenyataan.
Dengan luas wilayah hanya 5.561 km2, atau 0,3 persen dari keseluruhan luas negara, Bali merupakan salah satu provinsi terkecil di Indonesia. Peradaban mencatat bahwa Bali memiliki mikrokosmos yang luar biasa, epitom yang istimewa tentang alam, sejarah, kesusasteraan, legenda, agama, seni, arsitektur dan manusianya itu sendiri.
Di sebelah barat, Bali dipisahkan dengan Pulau Jawa oleh Selat Bali dan di sebelah timur, dipisahkan dengan Pulau Lombok oleh Selat Lombok. Pulau ini terletak di atas dua lempengan tektonik yang saling tumpang tindih, dan didominasi oleh sederetan puncak gunung berapi dengan ketinggian di atas 2.000 meter. Gunung Agung—masih aktif, dengan ketinggian 3.140 meter—merupakan yang tertinggi.
“Pantai Bali”
Bali juga menjadi rantai terakhir dari jajaran pulau-pulau tropis garis imajiner yang menandai pemisahan zona ekologi Asialis dan Australasia. Di sebelah timur, sepanjang selat Lombok yang memisahkan Pulau Bali dengan Pulau Lombok, konon ada garis imajiner yang membedakan flora dan fauna dari sub-tropis berganti menjadi beragam flora dan fauna Australasia. Di satu sisi tanah hijau subur, di sisi lain tanah coklat; di satu sisi terdapat kera, dan tupai, di sisi lain terdapat komodo dan kakatua.
Garis imajiner pemisah Australasia dengan Asialis adalah Garis Wallace— antara Borneo dan Sulaweis; antara Bali di barat dan Lombok di timur. Tapi garis ini kemudian sedikit dikoreksi dan digeser ke daratan Pulau Sulawesi oleh Weber; Garis Weber.
Pulau para Dewa ini dibelah oleh sungai, kanal, dan juga ngarai yang diselimuti hutan. Lembah dan bukitnya diwarnai hamparan padi. Ujung pantai-pantai yang indah, dengan danau-danau yang mengisi sisa kawah. Pemandangan alam pulau ini memperlihatkan sebuah tempat yang hampir memadukan khayalan dengan kenyataan. Jangankan manusia, Dewa pun pasti menganggapnya surga.
Jumlah keseluruhan penduduk Bali mencapai tiga juta jiwa lebih, meliputi unsur Hindu mayoritas dan unsur Bali Aga minoritas. Yang terakhir kerap dianggap sebagai penduduk Asli Bali; status minoritas mereka merupakan akibat dari perpindahan penduduk Jawa sejak abad ke-10. Sekarang kelompok-kelompok kecil masyarakat Bali Aga dapat ditemui terutama di bagian timur pulau ini.
Pada abad ke-15 Masehi, ketika kerajaan Majapahit dikalahkan oleh kekuatan kerajaan Islam Demak, ratusan orang Jawa-Hindu dari berbagai kelompok; bangsawan, cendekiawan, rohaniwan, seniman, dan rakyat biasa yang notabennya orang-orang setia Majapahit kemudian ramai-ramai mengungsi ke pulau Bali.
Keyakinan
“Menuju Pura untuk Perayaan Odalan”
Keyakinan orang Bali merupakan fenomena kompleks yang dilandasi berbagai aspek; Hindu, Siwa, Buda dan berpadu dengan tradisi leluhur. Oleh karena itu penyembahan roh-roh halus, nenek-moyang, dan unsur-unsur alam digabungkan dengan ajaran Hindu. Dalam beberapa kasus upacara adat dan ritual keagamaan terdapat perbedaan dari satu wilayah dengan wilayah lainnya.
Sebagian besar orang bali, hampir 95 %, beragama Hindu, walaupun Hindu yang berbentuk sinkretis; Hindu-Bali atau kadang disebut juga Hindu Dharma.
“Ritual Upacara di Pura Besakih”
Salah satu upacara penting di Bali adalah pengabuan. Selama upacara ini berlangsung, gamelan, tarian, dan sesajen menyertai arak-arakan dengan sebuah “menara yang dihias” diarak dari rumah duka ke tempat pengabuan. Adat yang rumit ini sudah agak terkikis dengan berlalunya waktu, walaupun masih berfungsi sebagai daya tarik wisata.
Dalam alam keyakinan orang Bali, gunung Mahameru atau Meru mempunyai kedudukan istimewa. Mahameru menggambarkan arti penting sebagai inti dari kehidupan; dari sanalah para Dewa mengatur kehidupan di Bumi. Gunung sebagai kosmos bahkan menjadi unsur yang dominan dalam keyakinan dan arsitektur mereka.
Bagian penting dari ritual keagamaan yang berhubungan dengan gunung di Bali, adalah upacara yang dilakukan di gunung Agung, Sebagai gunung tertinggi dan dianggap sebagai ‘pusat bumi’. Di kaki gunung Agung terdapat Pura Besakih. Selain perayaan dan upacara tahunan yang diatur oleh kalender keagamaan, di Pura ini juga digelar upacara untuk penyucian alam semesta yang disebutEka Dasa Rudra, setiap 100 tahun sekali.
Kosmologi dan simbolisasi gunung dalam arsitektur Bali dapat dilihat pada bentuk dan struktur arsitektur Candi atau karakteristik gerbang yang dibuat menyerupai menara ada yang berlekuk menyerupai dua bagian piramida yang terpisah dan menggambarkan dua bagian gunung, satu bagian gunung Agung dan lainnya perwujudan gunung Batur.
“Gapura Pura Besakih”
Simbol umum lainnya adalah meru; puluhan bahkan ratusan bangunan yang seperti pagoda itu berdiri di tempat-tempat suci, dan di pelataran candi. Banguan didirikan pada lapisan batu yang memiliki serangkaian bentuk atap menyerupai tumpang piramida itu ditutup oleh daun palem hitam. Jumlah sebelas, jumlah yang ditetapkan atas dasar keyakinan terkait dengan tatanan alam semesta.
Keyakinan, upacara, dan perayaan telah membimbing kehidupan orang Bali dari sejak dilahirkan hingga membentuk paduan yang mencerminkan karakter budaya masyarakatnya. Peraturan agama tidak hanya mengikat bentuk candi dan pura, tapi juga mengatur tata ruang desa, struktur rumah, dan sederet hak dan tanggung jawab dalam kehidupan mereka di Bumi ini; dari makan sampai menjelang tidur, dari berjalan hingga bertutur.
Kehidupan Sosial dan Budaya
Desa merupakan jenis pemukiman utama di Bali. Setiap Desa dihuni oleh 200 sampai beberapa ribu orang. Di sekitar lapangan tengah desa terdapat kuren, kumpulan rumah keluarga yang dibatasi oleh dinding-dinding tinggi. Setiap kuren dihuni beberapa keluarga yang bersembahyang, memasak, dan makan bersama. Lapangan tengah desa merupakan tempat berkumpul penduduk desa yang menggunakannya untuk kegiatan budaya, pertemuan, sosialisasi, dan sebagainya.
Masyarakat Bali dikelompokkan dalam dua macam, Yang pertama—wangsa—didasarkan atas keturunan, yakni setiap orang dilahirkan sebagai kaum ningrat atau sudra (juga dikenal sebagai jaba,yang secara harfiah berarti orang luas istana). Kaum ningrat, berikutnya dibagi menjadi tiga kasta, yaitu pendeta-pendeta (brahmana) bangsawan-bangsawan yang berkuasa (satriya), dan prajurit-prajurit (wesya). Sebagian besar penduduk bali adalah sudra.
“Perempuan Bali Bergotong Royong”
Penanda sosial kedua didasarkan atas tempat tinggal seseorang dengan sistem banjar yang merupakan tulang punggung tatanan ini. Di setiap desa mungkin terdapat lebih dari satu banjar,setiap banjar meliputi anggota sekitar lingkungan desa. Sistem ini berpusat pada pria dan setiap pria Bali diwajibkan menjadi anggota suatu banjar,sedang wanitanya dilarang. Di dalam setiap banjar,seorang anggota dipilih sebagai ketua dan mendapat setidaknya beberapa hak istimewa seperti memperoleh tambahan nasi sewaktu perayaan tertentu. Sebenarnya, banjar berperan seperti koperasi, lengkap dengan dana bersama, dan bahkan kepemilikan sawah bersama.
Meskipun bergelut dengan hantaman globalisasi dan derasnya informasi, kebudayaan khas yang telah lama mengakar pada masarakat Bali tetap kokoh sebagai ciri khas mereka. Mungkin perubahan terjadi, tapi mereka sepertinya bisa menyelaraskannya kembali, beberapa ciri dan cara orang Bali dalam kehidupan sosial dan Budayanya sebagai berikut:
Jatakarma Samskara (Upacara Kelahiran). Berbagai persiapan harus dilakukan untuk menyambut kelahiran seorang bayi, bahkan persiapan dimulai dari jauh waktu sejak bayi masih dalam kandungan ibu. Serangkaian larangan bagi ibu yang sedang hamil misalnya: tidak boleh memakan makanan berasal dari hewan; tidak diperbolehkan memakan daging kerbau atau babi; jangan melihat darah atau orang yang terluka; tidak boleh melihat orang yang meninggal; dianjurkan untuk diam di rumah dengan upacara penyucian agar kelahiran bayi nantinya berjalan normal.
Bapak dari sang bayi harus dapat menghadiri kelahiran sang bayi dan menemani sang istri. Ketika sang bayi lahir, dulu, saat bayi lahir, sang bapak lah yang harus memotong ari-arinya dengan menggunakan pisau bambu. Ari-ari itu lalu disimpan dan nanti harus dilingkarkan di leher sang bayi. Pada hari ke-21 setelah kelahiran, sang bayi akan dipakaikan pakaian, seperti; gelang dari perak atau emas sesuai dengan kemampuan dan adat yang ada.
“Ritual Potong Gigi”
Mepandes (Upacara Potong Gigi). Upacara pada masa transisi dari anak-anak menuju masa selanjutnya yang dijalankan oleh masyarakat Bali adalah upacara potong gigi atau mepandes, yaitu mengikir dan meratakan gigi bagian atas yang berbentuk taring. Tujuannya adalah untuk mengurangi sifat jahat atau buruk (sad ripu). Mepandes dilaksanakan oleh seorang sanggingsebagai pelaksana langsung dengan ditemani seorang Pandita (Pinandita).
Pawiwahan (Upacara Perkawinan). Upacara transisi lainnya adalah pernikahan atau Pawiwahan.Pawiwahan bagi orang Bali adalah persaksian di hadapan Sang Hyang Widi dan juga kepada masyarakat bahwa kedua orang yang yang akan menikah (mempelai) telah mengikatkan diri sebagai suami-istri.
Dalam pelaksanaan pernikahan ini, akan terlebih dahulu dipilih hari yang baik, sesuai dengan persyaratannya, ala-ayuning. Orang bali punya cara sendiri dalam menghitung hari dan tanggal baik sesuai dengan pertanggalan mereka, umumnya hari dan waktu yang baik ini dihitung oleh seorang ahli yang sangat mengerti perhitungan waktu dalam sistem penanggalan Bali. Hampir semua masyarakat masih mengenal sistem penanggalan Bali karena mereka dalam kesehariannya masih menggunakan kalender Bali.
Tempat melaksanakan pernikahan dapat dilakukan di rumah mempelai perempuan atau laik-laki sesuai dengan hukum adat setempat–desa, kala, patra)–yang Pelaksanaannya dipimpin oleh seorang Pendeta (Pinandita), Wasi dan atau Pemangku.
Ngaben (Upacara Kematian). Ngaben adalah upacara kematian pada masayarakat Bali yang dilakukan dengan cara kremasi. Ngaben merupakan rangkaian akhir dari roda kehidupan manusia di Bumi. Menurut ajaran Hindu, roh itu bersifat immortal (abadi), setelah bersemayam dalam jasad manusia, ketika manusia tersebut dinyatakan meninggal, roh akan be-reinkarnasi. Tapi sebelumnya, roh terlebih dahulu akan melewati sebuah fase di nirwana untuk disucikan; sesuai dengan catatan kehidupan selama di bumi (karma). Ngaben merupakan proses penyucian roh dari dosa-dosa yang telah lalu.
Oleh karena itu, orang Bali tidak menganggap kematian sebagai akhir dari segalanya, kematian merupakan bagian dari fase kehidupan yang baru. Seperti yang tercantum dalam Bhagavadgita,“akhir dari keidupan adalah kematian dan awal dari kematian adalah kehidupan”.
Seni dan Berkesenian
"Pahat Patung"
Musik, Tarian, dan juga Patung adalah tiga bidang kesenian yang menjadi pusat konsentrasi eksplorasi kreativitas seni masyarakatnya. Bali merupakan tempat lahirnya salah satu ragam gamelan yang mengagumkan. Dalam budaya Bali, gamelan sangat penting untuk kegiatan budaya-sosial, dan keagamaan mereka. Saat ini sedikitnya ada 20 jeneis ansambel berbeda di Pulau Bali. Sebagian besar berkait erat dengan seni pertunjukan; yang lain untuk mengiringi upacara keagamaan dan adat.
Suara gamelan Bali berdengung di seantero Pulau Bali; di pura, di kota, desa, alun-alun, di pasar, istana hingga panggung-panggung pentas dunia. Gamelan ditemani oleh instrumen musik lainnya seperti: gong, c saron, eng-ceng, gambang, dll. Komposisi instrumen gamelan dapat berubah sesuai dengan wilayah dan jenis pertunjukan-pertunjukkan yang digelar.
Selain seni musik, tarian-tarian khas Bali merupakan seni pertunjukkan yang menarik perhatian. Tari Bali tidak selalu memiliki alur. Tujuan utama penari adalah melakukan setiap tahap gerak dengan ungkapan penuh. Keindahannya terutama terletak pada dampak visual dan kinestesis gerak yang mujarad dan digayakan. Beberapa contoh terbaik dari tarian mujarad atau abstrak ini adalah Tari Pendet, Tari Gabor, Tari Baris, Tari Sanghyang, dan Tari legong.
Di Bali terdapat berbagai jenis tarian dengan fungsi yang berbeda-beda misalnya untuk upacara-upacara keagamaan, menyambut tamu, pertunjukkan drama atau musikal, dan masih banyak lagi. Tari Pendet, Gabor, Baris, dan Sanghyang berperan penting dalam kegiatan keagamaan dan digolongkan jenis tarian suci (wali) atau tarian upacara, sedangkan Legong ditarikan dalam acara yang tidak memiliki kaitannya dengan keagamaan. Tari-tari ini diiringi gamelan pelog–gamelan gong kebyar– dengan berbagai gubahan dan sususan anda.
“Tari Legong"
Tari Pendet dan Tari Gabor merupakan tarian selamat datang, ungkapan kegembiraan, kebahagiaan, dan rasa syukur melalui gerak indah dan lembut. Tarian ini dilakukan oleh sepasang atau sekelompok penari. Paa masa lalu, kedua tari ini meupakan tarian yang digelar di pura untuk menyambut dan memuja dewa-dewi yang berdiam di pura selama upacara odalan.
Tari Legong kerap dianggap sebagai lambang keindahan Bali. Ciri khas tarian ini adalah penarinya membawa kipas. Keindahan tarian Legongi terletak pada hubungan selaras antara penari dan gamelan.
Gamelan yang mengiringi tari Legong adalah Gamelan Semar Pagulingan. Beberapa Lakon yang biasa dipentaskan dalam Legong bersumber pada cerita rakyat milsanya cerita Malat yang mengkisahkan Prabu Lasem, cerita Kuntir dan Jobog yang mengkisahkan Subali Sugriwa, kisah Brahma Wisnu tatkala mencari ujung dan pangkal Lingganya Siwa, dan lain sebagainya.
Selain tari Tari Pendet, Tari Gabor, Tari Baris, Tari Sanghyang, dan Tari legong, tarian lainnya yang tak kalah terkenal adalah tari Kecak, juga tari Jauk.
Jawaban dan Tantangan
Kekayaan dan keindahan budaya Bali, telah diwariskan dengan cukup baik dan dilestarikan oleh para generasi penerusnya. Hal ini tentu saja menjadi jawaban yang luar biasa bagi daerah lainnya di Indonesia. Mensinergikan kehidupan modern tanpa menyisihkan kearifan lokal yang menjadi jati diri bangsa.
Hal lainnya yang dapat menjadi jawaban dari Bali adalah visi mereka yang menginspirasi setiap jiwa untuk mencintai dan memuliakan budaya sendiri tanpa harus malu. Kreativitas manusia Bali dalam berbagai bidang seperti: teknik membuat patung, tarian, arsitektur, musik dan berbagai ekspresi kesenian lainnya, dengan percaya diri mereka perlihatkan ke hadapan dunia.
Meski pariwisata menjanjikan sebagai pendorong ekonomi, namun dalam beberapa dasawarsa terakhir perlahan namun pasti telah menimbulkan beberapa masalah, terutama berupa penurunan lingkungan, pengikisan tradisi, inflasi, serta peningkatan kejahatan. Bali bahkan menjadi pintu gerbang bagi hal-hal yang “berbahaya”. Ini adalah tantangan bali, baik sekarang maupun di masa depan.